Menurut mufti Dr. Muhammad Al-Faqih, khabar bahwa ٌRasulullah SAW pernah melewati Laut Mati (the Death Sea) dalam perjalanan perang dan melarang umatnya mendekatinya karena merupakan negeri yang pernah dihancurkan atau diadzab Allah pada zaman dahulu, adalah khabar yang tidak shahih.
Dan kalau kita teliti dalam Sirah Nabawiyah, Rasulullah SAW tercatat hanya 3 kali saja seumur hidupnya datang ke negeri Syam. Pertama dan kedua, saat beliau belum diangkat menjadi Nabi, dimana beliau melakukan perjalanan niaga kesana, baik bersama pamannya atau pun bersama Maisarah bekerjasama dengan Khadijah sebagi pemilik modal. Ketiga, adalah saat peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Dan meski beliau SAW ikut serta dalam perang Tabuk, dimana arahnya memang ke Syam, posisinya masih sangat jauh dari Laut Mati yang ada di Syam. Tabuk kini adalah kota yang masih dalam wilayah Kerajaan Saudi Arabia.
Selebihnya, tidak ada riwayat yang shahih yang menyebutkan bahwa beliau datang ke Syam yang disana terdapat Laut Mati. Dan tentunya, isyu adanya larangan beliau untuk tidak mendatangi Laut Mati karena merupakan arean adzab Allah pun tidak kuat dasarnya.
Intinya, tidak semua negeri yang pernah dihancurkan lantas berarti kita tidak boleh mengunjunginya hari ini.
Bukankah dahulu Firaun (Ramses II) pernah berkuasa dan menjadi penguasa lalim di Mesir, lalu Allah hancurkan dia dan bala tentaranya. Lantas, apakah haram hukumnya kita tinggal di Mesir, hanya karena Firaun pernah tinggal disana? Dan apakah kita haram melintasi Laut Merah karena dahulu Firaun dan balatentaranya mati tenggelam di Laut Merah.
Kaum Tsamud juga pernah dibinasakan Allah, padahal mereka pernah membangun peradaban besar. Salah satu peninggalan mereka adalah bukit yang diukir menjadi bangunan yang tinggi dan megah. Manusia di zaman sekarang ini pun belum tentu mampu membangunnya. Lalu kaum Tsamud dimusnahkan Allah. Lantas apakah kita diharamkan tinggal di negeri yang dulunya ada bangsa yang diadzab Allah?
Lalu bagaimana dengan banjir di zaman Nabi Nuh? Bukankah banjir itu konon menenggelamkan sekian banyak wilayah di bumi. Apakah kita diharamkan tinggal di negeri yang pernah ada banjir Nabi Nuh?
Tentu jawaban dari semua itu adalah : TIDAK.
Nabi Menghancurkan Berhala
Raslullah SAW memang pernah menghancurkan patung dan berhala yang ada di sekitar Ka'bah. Ini kisah yang benar dan tidak bisa dipungkiri.
Namun peristiwa ini terjadi setelah Rasullah SAW berdakwah selama 13 tahun di Mekkah. Beliau setiap hari shalat di depan ka'bah, ditemani 360-an berhala. Sepanjang 13 tahun itu beliau sama sekali tidak pernah diriwayatkan menghancurkan berhala di depan Ka'bah.
Penghancuran berhala baru terjadi saat penduduk Mekkah masuk Islam secara berbondong-bondong. Bahkan penduduk Mekkah ikut serta dalam proses penghancuran Ka'bah, karena mereka sudah masuk Islam.
Tentu hukumnya beda dengan sikap kita kepada rumah ibadah agama lain. Di dalam syariah Islam, haram hukumnya umat Islam menghancurkan rumah ibadah agama lain. Terutama rumah ibadah yang ada di negeri muslim, dimana para pemeluk agamanya sudah terikat perjanjian damai dengan penguasa muslim.
Betlehem yang diyakini sebagai tempat suci umat Kristiani, ketika jatuh ke tangan umat Islam lewat penaklukan, juga tidak dihancurkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu. Demikian juga gereja-gereja yang ada di Mesir, tidak dirusak oleh Amr bin Al-Ash tatkala menaklukkannya.
Gereja megah Aya Sofia pun tetap masih berdiri kokoh hingga hari ini di Istambul. Padahal umat Islam berkuasa disana hingga 800-an tahun. Pagoda, Vihara dan Kuil yang ada di India pun masih utuh hingga hari ini, padahal umat Islam berkuasa disana ratusan tahun.
Para wali songo pun juga tidak pernah merusak candi Borobudur atau Prambanan serta ratusan candi lainnya. Sebab syariah Islam tidak diturunkan untuk merusak atau merobohkan tempat ibadah agama lain.
Dan menghancurkan candi, gereja, biara, kuil, di negeri kita juga termasuk haram hukumnya.
Bali : Islam dan Non Islam
Benar sekali bahwa di Bali banyak orang-orang non muslim, baik mereka yang berwisata maupun yang merupakan penduduk asli. Dan tidak salah kalau di pulau itu banyak terjadi kemaksiatan, baik yang berupa syirik konvensional atau pun kemaksiatan modern.
Maka kalau ada pandangan negatif terhadap keberadaan pulau Bali dalam kacamata Islam, kita tidak bisa 100% menyalahkan. Sebab realitasnya memang demikian.
Akan tetapi tidak berarti pulau Bali itu hanya melulu berisi orang kafir, syirik dan kemaksiatan. Ternyata kalau kita teliti, Islam bukan hal yang asing di Bali. Setidaknya kalau kita lihat statistik, ternyata jumlah penduduk muslim di Bali cukup besar juga untuk ukuran wilayah minoritas.
Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali mengeluarkan data bahwa setidaknya pada tahun 2005, dari 3 jutaan penduduknya, ada sekitar 198.000-an penduduk Bali yang beragama Islam. Bandingkan dengan pemeluk agama Budha yang hanya 20 ribuan orang. Juga yang beragama Kristen Katolik yang cuma 22 ribu, atau pemeluk Kristen Protestan yang hanya 44 ribuan. Dengan demikian, Islam adalah agama terbesar kedua di Bali setelah agama Hindu.
Juga jangan dipungkiri bahwa jumlah masjid pun tidak sedikit di pulau itu. Tempat peribadatan umat Islam terdapat di hampir semua kabupaten di Bali. Di setiap kabupaten, rata-rata jumlahnya lebih dari dua masjid.
Akultutasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik. Sejumlah masjid yang ada di Bali menunjukkan perkawinan arsitektur Bali dan Arab.
Kalau dahulu seorang muslim kesulitan mencari rumah makan halal di Bali, sekarang semua tersedia di setiap tempat. Mulai dari masakan Jawa, Padang hingga khas Arab pun tersedia.
Awal Dakwah Islam di Bali
Beberapa literatur menyebutkan bahwa keberadaan Islam di pulau Bali bukan hal yang baru. Setidaknya Islam sudah tercatat eksis disana sejak abad XIV, yakni pada zaman kekuasaan Raja Dalem Waturenggong (1480-1550). Raja Dalem Waturenggong berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Saat kembali ke Bali, beliau diiringkan oleh 40 orang pengawal beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut kemudian diijinkan menetap di Bali, bertugas sebagai abdi kerajaan Gelgel (Klungkung bagian Selatan). Mereka dianugerahi pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel. Itulah masjid pertama di Bali.
Islam juga masuk ke Bali lewat Pulau Serangan pada awal Abad XVII. Pada saat itu para ulama dan saudagar Islam serta Laskar Bugis merapat menggunakan perahu Pinisi. Kedatangan saudagar dan Ulama Bugis disambut hangat oleh Raja Puri Pemecutan, Badung, yang berkuasa saat itu.
Catatan sejarah lain masuknya Islam ke Bali yakni saat Raja Karangasem, Anak Agung Ketut Karangasem menyerang Pulau Lombok sekitar tahun 1690. Dalam penyerangan tersebut, Raja Karangasem berhasil menaklukkan kerajaan Pejanggik dan menguasai sebagian wilayah Kerajaan Mataram atas jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel, putra Raja Mataram. Sebagai tanda jasa Pangeran Dadu Ratu Mas Pakel beserta pengikutnya yang beragama Islam diberi tempat terhormat di Karangasem. Ketika meninggal, jasad Sang Pangeran dimakamkan di di Istana Taman Ujung. Komunitas inilah yang menjadi cikal-bakal kampong-kampung Islam di wilayah Karangasem.
Sunan Mas Prapen cucu Sunan Giri kemudian mendirikan Masjid Ampel, sekitar 500 meter dari Puri Karangasem. Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 4.500 meter persegi pemberian Raja Karangasem. Arsitektur Masjid Ampel Karangasem serupa dengan Masjid Ampel, Gresik Jawa Timur.
Jadi tinggal bagaimana cara kita memandang, apakah kita mau lihat pulau Bali sebagai pulau kekafiran dan kemaksiatan, lantas kita jauhi dan kita musuhi, ataukah kita memandang bahwa pulau Bali adalah bagian dari sambungan perjuangan dakwah Islam yang sudah pernah dirintis sebelumnya. Dalam hal ini, memang umat Islam sering berbeda pandangan.
Muslim Masuk Tempat Ibadah Orang Kafir
Pada dasarnya tempat yang diharamkan untuk dimasuki oleh seorang muslim bukanlah tempat-tempat ibadah agama lain. Yang diharamkan untuk dihadiri tempat ibadah agama lain bila di dalamnya sedangkan dilakukan peribadatan,
Dalilnya adalah firman Allah SWT
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah,"Hai orang kafir, Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Kamu bukan penyembah tuhan yang kami sembah. Dan Aku bukan penyembah tuhan yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-Kafirun : 1-6)
Sedangkan hukum memasuki rumah ibadah agama lain, apabila sedang tidak dilakukan ritual ibadah, pada dasarnya tidak ada larangan.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu berkata,"Janganlah kalian masuk ke rumah ibadah agama lain pada saat hari perayaan ibadah mereka. Karena murka Allah turun kepada mereka. (HR Al-Baihaqi dalam As-Sunan 9/234, Abdurrazaq dalam Al-Mushannif, no. 1609)
Lihat Iqtidha Shirath Al-Mustaqim karya Syaikhul Islam 1/455 dan juga kitab Al-Adab Asy-Syar'iyah jilid 3 halaman 442.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Musa radhiyallahu anhuma dalam kitab Asy-Syarh, bahwa tidak ada larangan untuk melakukan shalat di dalam tempat ibadah agama lain, asalkan suci atau bersih dari najis.
Mazhab Al-Hanabilah membolehkan seorang muslim melakukan shalat di dalam rumah ibadah agama lain, tanpa karahah.
Al-Kasani dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa tidak terlarang hukumnya bagi seorang muslim untuk shalat di dalam rumah ibadah agama lain, asalkan bukan dengan berjamaah.
Kalau pun Al-Hanafiyah memakruhkan seorang muslim masuk ke rumah ibadah agama lain, penyebabnya bukan karena keberadaan rumah ibadah itu, melainkan mereka meyakini bahwa di dalamnya banyak syetan yang berkumpul. Namun tetap saja mereka tidak sampai mengharamkannya.
Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah ketika melarang umat muslim memasuki rumah ibadah agama lain, alasannya hanya bila hal itu tidak mendapat izin dari pemeluk agama yang bersangkutan. Sebaliknya, bila mereka sendiri mengizinkan, maka tidak ada larangan untuk memasukinya.
Sedangkan Al-Imam Ibnu Tamim menegaskan bahwa tidak ada larangan buat seorang muslim untuk memasuki rumah ibadah agama lain, bahkan untuk shalat di dalamnya, selama tidak ada patung yang disembah.
Berbeda dengan semua fatwa di atas, Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta milik Kerajaan Saudi Arabia saat ditanya tentang hukum masuknya seorang muslim ke gereja, baik itu untuk menghadiri sembahyang mereka atau mendengarkan ceramah, mereka mengatakan bahwa seorang muslim tidak boleh masuk ke tempat-tempat ibadah kaum kuffar karena banyaknya keburukan mereka.
Lalu Wisata ke Bali, Haramkah?
Setelah berputar-putar kesana kemari, sekarang mungkin antum akan bertanya to the point, kalau begitu berwisata ke Bali buat seorang muslim, haram apa tidak?
Jawabannya pada dasarnya berwisata kesana tidak terlarang, karena tidak semua objek wisata di Bali selalu negatif dan maksiat. Disana ada wisata alam yang indah, baik pegunungan dengan hamparan sawah menghijau, atau laut lepas dengan pasir yang nyaman untuk melepas lelah dan kepenatan. Bahkan juga tersedia arena bemain anak-anak yang positif dan mendidik. Ini bukan promosi tapi ini realita.
Wisata ke Bali baru terlarang dan haram bila selama disana kita melakukan hal-hal yang nyata-nyata diharamkan. Misalnya, ikut berbagai ritual peribadatan agama Hindu, seperti ikut memberikan sesaji, termasuk ikut mempercayai tahayul dan kepercayaan-kepercayaan mereka. Ini jelas haram hukumnya secara mutlak.
Juga termasuk haram bila disana kita melakukan wisata dengan melanggar ketentuan Allah seperti mabuk, minum khamar, pesta seks, berzina, cuci mata menonton aurat wanita, atau ikut mengumbar aurat juga. Walau pun tempatnya di pantai, bukan berarti lantas mengumbar aurat jadi boleh.
Apalagi bila wisata itu menggunakan uang hasil nilep uang negara yang haram hukumnya, seperti hasil korupsi, uang sogokan, apa pun namanya. Tentu hukumnya haram 2 kali lipat.
Selama berwisata ke Bali, sebagai muslim tetap wajib shalat fardhu, walau pun dijama' atau qashar. Masjid cukup banyak tersedia disana, sehingga kita tidak perlu bersusah-susah mencarinya. Dan haram hukumnya kita makan di sembarang tempat kecuali kita yakin kehalalannya. Alhamdulillah, wisata kuliner yang khusus buat muslim pun saat ini cukup memadai.
Urusan oleh-oleh, tetap haram buat kita beli oleh-oleh berupa patung, walau pun sekedar buat hiasan. Karena Islam mengharamkan patung dari makhluk bernyawa atau benda hidup, mulai dari jual-belinya sampai memajangnya di dalam rumah. Topeng Bali kalau merupakan representasi dari setan atau dewa dan sejenisnya, juga termasuk hal yang haram dimiliki buat seorang muslim.
Kalau mau beli souvenir, carilah yang gambarnya pemandangan alam, baik laut atau pohon-pohon. Jangan yang gambar maksiat atau tempat ibadah agama lain.
Lepas dari semua itu, berwisata ke wilayah Islam tentu tetap lebih utama, apalagi bila bisa sekalian Umroh ke tanah suci. Misalnya berwisata ke Spanyol untuk melihat bagaimana megahnya peradaban Islam berjaya lebih dari 500 tahun lamanya. Atau ke Turki yang juga masih menjadi saksi kejayaan khilafah Islam terakhir.
Tapi buat saya dan teman-teman yang pas-pasan, wisata ke masjid Istiqlal di Jakarta pun jadilah. Murah, meriah, bahkan tidak bayar alias gratis. Jadi mungkin ini lebih cocok buat saya. Cukup bawa nasi bungkus dari rumah, kita bisa berwisata seharian sambil i'tikaf dan menyelesaikan bacaan Quran. Paling-paling orang bilang, wisata kok gratisan. Kita jawab, biarin aja, yang penting hati senang. Ya, nggak?
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Olee : Ahmad Sarwat, Lc
sumber : http://warnaislam.com/syariah/kontemporer/2009/12/14/2520/Hukum_Wisata_ke_Bali.htm